Mahasiswa Sia Teh?

 


Karya: Iqbal Amrullah Ibrahim | Kategoti : Esai

SEBUL - Mau-tidak mau, suka-tidak suka, percaya atau tidak, yang namanya mahasiswa (saat ini) bukan makhluk intelektuil. Disadari atau tidak, mereka yang mengaku dirinya sebagai mahasiswa adalah manusia bodoh yang berlaga serba tahu. Yap, betul! Saya adalah salah satu dari mereka.

Sifat angkuh, pun kebiasaan serba tahunya itu bukan semata-mata mereka bego dan tak gemar membaca, akan tetapi hal itu terjadi karena rasa malas akut yang mereka derita. Meski mereka mengidap penyakit akut, mereka tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai mahasiswa.

Mahasiswadisadari atau tidakmenanggung beban sosial. Mereka dianggap oleh khalayak sebagai manusia yang BERPENDIDIKAN TINGGI yang bisa menyalurkan aspirasi-aspirasi masyarakat kepada para Pejabat Pemerintah. Hemat kata, mahasiswa (pada awalnya) adalah penyambung lidah rakyat.

Karena adanya stigma seperti itu dari masyarakat, maka mereka mau-tidak mau harus muncul sebagai sosok yang (berlaga) serba tahu. Untuk menjadi sosok yang serba tahu, tentu saja tidak kun-fa-ya-kun, semuanya butuh proses. Dan proses untuk menjadi sosok yang serba tahu sangatlah sulit dan memakan waktu yang sangat banyak.

Makhluk Berakal

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Apapun. Kita mundur sebentar ke jaman batu. Dulu, untuk bertahan hidup manusia harus berburu terlebih dahulu. Kemudian, setelah itu beralih menjadi bertani. Selebihnya saya tidak tahu. Dan ngga mau tahu. Yang saya tahu adalah manusia makhluk yang rakus, yang menggunakan akalnya untuk bertahan hidup. Berbeda dengan makhluk lain yang menggunakan insting untuk bertahan hidup.

Dengan adanya anugerah Tuhan: akal. Manusia bisa melakukan apapun demi kelompoknya bertahan hidup. Kita lihat di dalam buku Peristiwa Tiga Daerah karya Anton Lucas (ini saya bawa karena kebetulan saya sedang baca buku tersebut) sebagai contoh bahwa apa yang saya katakan tentang manusia sebagai makhluk yang rakus itu benar adanya.

Di dalam buku tersebut, Lucas mewartakan dengan kalimat yang mudah saya pahami bahwa kerakusan manusia diakibatkan karena sifat yang tak pernah merasa cukup. Contoh yang bisa di ambil dalam buku itu tidak lain seperti ini:

Baik Jepang maupun Belanda, mereka datang ke Indonesia lantaran ada yang mereka butuhkan di negeri ini: rempah-rempah. Kemudian, untuk mengelola hal tersebut mereka manfaatkan pribumi sebagai buruhnya. Di sisi lain, untuk mengontrol para buruh tersebut, mereka pun menunjuk seseorang dari pribumi untuk menjadi wakil dari mereka di setiap daerah-daerah terpencil.

Jauh daripada itu, yang kita tahu bahwa yang kejam adalah para pendatang, ternyata di dalam buku ini yang kejam adalah bumi putra itu sendiri. Secara singkat, kisahnya seperti ini: Lurah dipercaya oleh Jepang dan/atau Belanja untuk mantau kegiatan para buruh. Kemudian, karena kekuasaan yang diterima oleh Lurah itu, dijadikannya alat untuk memperkaya diri. Hal ini terlihat jelas melalui data pajak saat itu. Pajak Saat itu, sangat memberatkan rakyat terutama para buruh. Pajak yang menyiksa ini tercipta karena Lurah yang seenak jidat. Mula-mula para Lurah mencoceng sidikit dari hasil pajak rakyat, namun lambat laun, para Lurah ini kalang kabut karena Jepang dan/atau Belanda merasa hasil pajak selalu kurang dan membebani para Lurah untuk melunasi hasil pajak yang kurang itu. Maka, dengan akal bulusnya itu para Lurah MENAIKAN PAJAK tanpa perintah dari Jepang/Belanda untuk mengamankan dirinya sendiri. Karena, bila setoran yang diberikan selalu berkurang, para Lurah akan dibunuh tanpa melihat siapa dirinya.

Itu contoh akal manusia berfungsi saat posisi tersudutkan. Lalu apa kaitannya dengan Mahasiswa?

Mahasiswa Sia Teh?

Karena mahasiswa sudah dianggap sebagai sosok yang terdidik, tentu saja itu menjadikan mahasiswa sebagai tempat bertanya masyarakat sekitarnya. Bahkan, seseorang yang menjadi mahasiswa, selalu menjadi contoh yang baik bagi tetangga-tetangganya.

Status sosial seperti itu, akhirnya para mahasiswa yang mengidap penyakit mager akut, harus menampakan diri sebagai sosok yang berwawasan. Nah, karena kami memiliki akal, kami tak mau dicap sebagai mahasiswa yang tolol dan goblok. Kami harus tetap muncul sebagai orang yang memiliki wawasan luas.

Dewasa ini, kami tak perlu membaca apalagi menulis untuk mempertahankan status sosial semacam itu. Kami hanya perlu sering-sering membuka sosial media, membuka akun-akun dengan konten berbau literasi, kemudian kami unggah ulang di masing-masing akun sosial media kami. Mudah, bukan?

Sekali-kali tidak! kegiatan semacam itu tidaklah mudah! Kegiatan semacam itu sangat melelahkan dan sangat banyak membuang waktu kami.

Kamu mengerti apa yang saya tulis ini? Sama! Saya juga tidak mengerti.

Inilah saya seorang mahasiswa yang berlaga sok tahu hanya untuk mempertahankan sosial saya di mata masyarakat. 

Kenapa Menulis?

Karena saya sedang tidak tahu mau ngapain, dan ingin berlaga menjadi orang yang memiliki gagasan. Edan!

Mungkin ketika saya sudah ada yang mengkritik bahwa saya blablabla... saya akan bergabung dengan Bengkel Baca untuk memperbaiki bacaan saya yang semuanya berasal dari wikipedia. Bukankah ketika ada kerusakan sesuatu kita selalu datang ke bengkel?

Harap saya, dengan menulis tulisan tak bermakna ini, saya bisa menjadi Montir Bengkel Baca di kemudian hari. Terimakasih. Wasalam.

IKLAN

Tenang! Meski harganya murah, ini bukan kaos partai yang mudah belel.

Harga Normal : 180k
Harga Promo: 110k (+free stiker)
Nara Hubung Pemesanan: +62 831-9543-1562

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Babak Baru: Sastra Purwakarta Mau Gitu-gitu Aja?